Posted by : Unknown
Senin, 15 Mei 2017
A. Berakhirnya
Demokrasi Parlementer dan Dekrit Presiden Tahun
1959
Menurut Budiarjo, Miriam :
Karakteristik
periode ini berupa suatu seri krisis kabinet yang tiada henti-hentinya,
sehingga sering disebut dengan An
Interrupted Series Of Crises. Pada umumnya yang disalahkan adalah partai
politik. Salah satu sebab adalah kenyataan bahwa dua partai yang bersaing tidak
dapat memperoleh mayoritas di parlemen. Untuk keperluan itu setiap partai baru
membentuk koalisi-koalisi dengan partai-partai kecil. Akan tetapi tidak ada
loyalitas pada koalisi. Beberapa kali suatu partai yang menyatakan tidak setuju
dengan kebijakan kabinet menarik kembali dukungannya, sehingga kabinet jatuh
karena kehilangan mayoritas dalam parlemen dan terjadi krisis kabinet. Selain
itu ada sejumlah persoalan dalam partai masing-masing. Salah satu persoalan
tersebut adalah loyalitas anggota terhadap partainya ternyata sangat tipis.
Tokoh-tokoh partai tidak segan-segan keluar dari partai induknya begitu timbul
konflik pribadi dan mendirikan partai baru.[1]
Menurut Erwien Kusuma dan Khairul :
Dalam pidatonya Soekarno
dihadapan sidang konstituante 22 april 1959, yang berjudul ”Res Publica, Sekali Lagi Res Publica”,
Presiden Soekarno atas nama pemerintah meminta supaya konstituante menetapkan UUD
1945 menjadi UUD negara Republik Indonesia
yang tetap[2].
Menurut A.
Dahana :
Yang menjadi masalah krusial
adalah dasar negara. Kelompok Islam mengajukan usul amandemen dengan
mengembalikan tujuh kata sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Jakarta,
tentang syariat Islam. Sekalipun telah diadakan pemungutan suara sebnayak tiga
kali, sidang tidak pernah mencapai dua pertiga suara setuju seperti yang
ditetapkan undang-undang dasar sementara (UUDS)
1950 dalam pasal 37.[3]
Dengan kegagalan pemungutan suara,
berarti permintaan presiden Soekarno tidak terpenuhi, karena perbedaan pendapat
prinsipiil mengenai dasar negara. Sementara itu konflik politik antara partai
meningkat panas yang melibatkan masyarakat. Untuk mencegah akses-akses politik
sebagai akibat ditolaknya usul pemerintah oleh konstituante, kepala staf
angkatan darat (KSAD) selaku pengausa perang pusat (PEPERPU) Letnan Jenderal A.H
Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan
politik, yang berlaku mulai tanggal 3 juni 1959. Presiden Soekarno didukung TNI
muncul sebagai kekutan politik baru. Kekuatan ini mulai melakukan pembaharuan
tatanan politik untuk mengatasi krisis politik akibat pergolakan daerah-daerah
dan kenyataan bahwa peranan dan posisi partai-partai politik semakin melemah.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959 didukung oleh TNI, dua partai politik besar (PNI dan PKI), dan Mahkamah
Agung. Dengan Dekrit Presiden, konsep
Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan Presiden Soekarno pada tahun 1957
direalisasikan melalui pemberlakuan Staatsnoodrecht,
hukum keselamatan negara dalam keadaan bahaya yang luar biasa. Langkah politik
ini terpaksa dilakukan karena keadaan ketatanegaraan serta krisis politik dan
militer telah membahayakan persatuan dan kesatuan negara.
Menurut
Ubaedelah A dan Abdul Razak :
Faktor-faktor
disintegratif, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam Majelis
Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang
dasar baru, mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada
5 Juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir,
digantikan oleh Demokrasi Terpimpinn. (Guided
Democracy) yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan
Negara.[4]
B.
Nasakom
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto :
Perbedaan Ideologi
dari partai-partai yang berkembang masa Demokrasi Parlementer menimbulkan
perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak
pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada Demokrasi Terpimpin pemerintah
mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan menyampaikan ajaran Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden Nasakom merupakan
cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa ajaran
Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama
saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan presiden sebab jika menolak
Nasakom sama saja dengan menolak presiden.[5]
Kelompok yang
kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya
penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI
merupakan barisan terdepan pembela Nasakom. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan
bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi Komunis.
Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden
Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
Disaat TNI melakukan pembebasan,
pada 15 januari 1962 terjadi peristiwa Aru (dilaut Arafuru). Pada peristiwa itu
gugurlah Deputi Kasal Komando Yos Sudarso dan kapten Wiranto sebagai komandan
kapal RI macan tutul.[6]
C.
Politik Luar Negeri
1.
Dibentuknya poros
Jakarta-Phnom Penh-Peking merupakan bukti penyimpangan politik luar negeri yang
bebas aktif. Pada masa ini berlaku politik konfrontasi dengan negara kapitalis
yang dilandasi dengan Nefo dan Oldefo. Nefo merupakan kekuatan negara-negara
progresif Revolusioner (termasuk Indonesia dan negara Komunis) yang
antiimperialis dan antikolonialis. Sedang Oldefo merupakan kekuatan lama dari
negara Kapitalis yang Neokolonialis dan Imperalis.
2.
Menjalankan
politik konfrontasi dengan Malaysia sebab pemerintahan tidak setuju dengan
pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap proyek neoklonialis Inggris,
sehingga membahayakan Indonesia. Untuk itu pada 3 Mei 1964, presiden Soekarno
mencanangkan Dwikomando Rakyat (dwikora) yang isinya perhebat Ketahanan
Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri
dari nekolim Malaysia.
3.
Indonesia
keluar dari PBB pada 7 Januari 1965 sebagai reaksi terpilihnya Malaysia menjadi
anggota Dewan Kemanan.
4.
Hubungan
Indonesia dengan Uni Soviet semakin erat karena Uni Soviet bersedia memberikan
bantuan kredit pembelian senjata.[7]
.
.
[2] Erwien Kusuma dan
Khairul (ed) dalam Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam
Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante : Jakarta, hlm. 226
[4] Ubaedillah, A. &
Abdul Razak. 2012. Pancasila, Demokrasi,
HAM, dan Masyarakat Madani : Jakarta, hlm. 75
[5] Marwati Djoened
Poesponegoro
& Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia : Jakarta, hlm. 436